3.14.2013

WALI PEREMPUAN, bolehkah?




Pendahuluan

Ta’arif pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan keajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Firman Allah:
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil maka (nikahilah seorang saja).” (An-Nisa:3)
Pembahasan
A.    Pengertian Nikah
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat. Pertalian pernikahan dalam kehidupan manusia bukan saja antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi dua keluarga.
Adapun faedah terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memilhara perempuan yang bersifat lemah dari kebinasaan, sebab perempuan apabila ia sudah menikah maka nafkahnya atau biaya hidupnya wajib ditanggung oleh suami. Pernikahan juga berguna untuk memelihara perempuan anak cucu sebab kalo tidak nikah, tentu anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan bertanggung jawab.
B.     Rukun Nikah
1.      Sighat (akad) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan.
2.      Wali (wali si perempuan).
Dasar 1 Sabda Nabi, “Barang siapa diantara yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal” (Riwayat empat orang ahli hadis kecuali Nasa’i)
Dasar 2 “Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.” (Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni)
3.      Dua orang saksi.
Sabda Nabi “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil” (Riwayat Ahmad)
C.    Susunan Wali
Firman Allah, “Janganlah kamu menghalangi kamu menikah”(Al-Baqarah:232) kemudian hadis Umu Salamah yang telah berkata kepada Rasulullah, “Wali saya tidak ada seorang pun yang dekat”.
Semua itu menjadi tanda bahwa wali-wali itu telah diketahui atau dikenal, yaitu:
1.      Bapaknya.
2.      Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan),
3.      Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
4.      Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
5.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
6.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
7.      Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak).
8.      Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya.
9.      Hakim.
Syarat wali dan dua saksi:
1.      Islam
2.      Baligh
3.      Berakal
4.      Merdeka
5.      Laki-laki

Kesimpulan

1.      Berdasarkan dasar hadis nabi, “Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.” (Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni)
2.      Dalam Islam terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam masalah perkawinan. Soerang laki-laki jika telah dewasa dan berakal, maka Ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia diminta persetujuannya oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.
3.      Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering mendahulukan perasaan daripada pikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.
4.      Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuan lah yang mengucapkan ijab (penawaran), sedang pengantin laki-laki yang diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan), karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu, maka pengucapan ijab perlu diwakilkan kepada walinya. Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam akad nikahnya.
Sumber:
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.