PENDIDIK
PESERTA DIDIK DAN LINGKUNGAN
PENDIDIKAN
DALAM
PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. Sutrisno / Suyatno, M.Pd.I
Disusun
oleh: Kelompok IV
Muhammad
Danuwiyoto (10410078)
Fajria Hidayatun Marfu’ah (10410079)
Laili Masruroh (10410082)
Zidni Afdialudin (10410083)
Imroatus Solihah (10410085)
Bintang Fristiani S (10410093)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Menurut UU No.
20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Dari pengertian
pendidikan di atas jelas pendidikan keagamaan sangatlah penting peranannya dalam
mengembangkan potensi peserta didik.
Pendidikan
islam bisa di artikan sebagai suatu
upaya yang terstruktur untuk membentuk manusia paripurna (insan kamil) melalui
suatu institusi pendidikan yang kondusif untuk menyiapkan dan menciptakan
bentuk masyarakat yang ideal untuk masa depan. Sejalan dengan konsep tersebut,
maka pendidikan haruslah memiliki perangkat yang paling mendasar untuk mengawal
jalannya proses pendidikan, dimana hal itu adalah pendidik,peserta didik dan
lingkungan pendidikan.
2.
Tujuan
Penulisan
Dari latar belakang masalah di
atas, maka rumusan masalah yang diambil dalam makalah ini antara lain sebagai
berikut:
1. Mengetahui
tinjauan filosofis pendidik dalam filsafat pendidikan Islam
2. Mengetahui
tinjauan filosofis peserta didik dalam filsafat pendidikan Islam
3. Mengetahui
tinjauan lingkungan pendidikan dalam filsafat pendidikan Islam
PEMBAHASAN
1.
Pendidik
Dalam Konsep Filsafat Pendidikan Islam
a.
Pengertian
Pendidik
Banyak para ahli menjabarkan tentang pendidik dan menyimpulkan pendapat
yang beragam. Teori orang barat, pendidik dalam orang islam adalah orang-orang
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya
mengembangkan potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif
(cipta), maupun psikomotoriknya (karsa).[1]
Wiji Suwarno menjelaskan bahwa pendidik adalah orang yang
dengan sengaja mempengaruhi orang lain (peserta didik) untuk mencapai tingkat
kesempurnaan (kemanusiaan) yang lebih tinggi. Status pendidikan dalam model ini
bisa di emban oleh siapa saja ,dimana saja, dan kapan saja[2]
b.
Fungsi
Dan Tugas Pendidik
Pendidik sebagai seorang yang terdepan dalam pendidikan secara
umum memiliki dan tugas sebagai berikut:
1) Sebagai
Pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan
melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan melaksanakan
penilaian setelah program dilaksanakan
2) Sebagai
pendidik (edukator), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan
berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT. Yang menciptakannya
(makhluk)
3) Sebagai
pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri,
peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang
menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan
partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.[3]
2.
Peserta
didik dalam Konsep Filsafat Pendidikan Islam
a.
Pengertian
Peserta didik
Mengacu
pada konsep pendidikan sepanjang masa atau seumur hidup, maka dalam arti luas
yang disebut dengan peserta didik adalah siapa saja yang berusaha untuk
melibatkan diri sebagai peserta didik dalam kegiatan pendidikan sehingga tumbuh
dan berkembang potensinya, baik yang berstatus sebagai anak yang belum dewasa
maupun orang yang sudah dewasa.dalam UU sisdiknas 2003 pasal 1, dijelaskan
bahwa yang di sebut peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui melalui proses pembelajaran yang tersedia
pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.[4]
Peserta
didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang
lain (pendidik) untuk membantu mengembangkan potensi yang dimilikinya serta
membimbing menuju kedewasaan. Potensi merupakan suatu kemampuan dasar yang
dimiliki peserta didik, dan tidak akan tumbuh atau berkembang secara optimal
tanpa bimbingan pendidik.[5]
Dalam
istilah tasawuf peserta didik seringkali disebut dengan murid atau thalib.
Secara etimologi murid berarti orang yang menghendaki sedangkan menurut arti
terminologi murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang
pembimbing spiritual (mursyid), sedangkan thalib secara bahasa berarti orang
yang mencari sedang menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan spriritual
dimana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi[6]
b.
Tugas
Peserta didik
Agar
pelaksanaan proses pendidikan islam dapat mencapai tujuan yang di inginkannya
maka setiap peserta didik hendaknya menyadari tugas dan kuwajibannya, yaitu
anatar lain
a. Peserta
didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu, hal ini
disebabkan karena belajar adalah ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan
hati yang bersih.
b. Tujuan
belajar hendaknya ditunjukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat
keutamaan.
c. Memiliki
kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di barbagai tempat
d. Peserta
didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar[7]
3.
Lingkungan
Pendidikan Dalam Konsep Filsafat Pendidikan Islam
Lingkungan merupakan salah satu
faktor pendidikan yang ikut serta menentukan corak pendidikan islam, yang tidak
sedikit pengaruhnya terhadap anak didik lingkungan yang dimaksud adalah
lingkungan yang berupa keadaan sekitar yang mempengaruhi pendidikan anak.[8]
Lingkungan
adalah sesuatu yang berada diluar diri anak dan mempengaruhi
perkembanganya. Menurut Sartain (Ahli psikolog dari
Amerika) mengatakan bahwa yang dimaksud lingkungan sekitar adalah
meliputi semua kondisi dalam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi
tingka laku manusia, pertumbuhan, perkembagan, kecuali gen-gen.[9]
Menurut
Milieu, yang dimaksud lingkungan ditinjau dari perspektif pendidikan Islam
adalah sesuatu yang ada disekeliling tempat anak melakukan adaptasi, meliputi:
1. Lingkungan
alam, seperti udara, daratan, pegunungan, sungai, danau, lautan, dsb.
2. Lingkungan
Sosial, seperti rumah tangga, sekolah,dan masyarakat.
Zuhairini (1995: 175) menyebutkan
lingkungan yang dapat mempengaruhi anak
didik terhadap agama terbagi menjadi 3 kelompok:
a. Lingkungan
yang acuh-tak acuh terhadap agama.
b. Lingkungan
yang berpegang teguh pada tradisi agama, tetapi tanpa keinsyafan batin.
c. Lingkungan
yang mempunyai tradisi agama dengan sadar dan hidup dalam lingkungan agama.
Kihajar Dewantara mengartikan lingkungan
dengan makna yang lebih simple dan spesifik. Ia mangatakan bahwa apa yang
dimaksud dengan lingkungan pendidikan berada dalam 3 pusat lembaga pendidikan
yaitu: [10]
a. Lingkungan
Keluarga
Keluarga (Kawula Warga) adalah suatu
kesatuan sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial yang
memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerjasama ekonomi, berkembang,
mendidik, melindungi, merawat dan sebagainya. Sedangkan inti dari keluarga
adalah ayah, ibu dan anak (wahyu, 1986: 37). Sedangkan tanggung jawab keluarga
menurut Hery Noer Ali (1999: 212-217) adalah (1) keluarga memberikan suasana
emosional yang baik bagi anak-anak seperti perasaan senang, sayang, aman dan
perlindungan. (2) mengetahui dasar-dasar pendidikan terutama berkenaan dengan
kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak serta tujuan
dan isi pendidikan yang diberikan kepadanya. Dan (3) bekerjasama dengan lembaga
pendidikan di luar keluarga.[11]
Keluarga
sebagai institusi pendidikan islam
Keluarga sebagai kelompok sosial terkecil
di masyarakat memiliki peranan yang sangat penting bagi pendidikan anak, karena
dalam keluarga pertama kali seorang anak berlatih bersosialisasi, secara tidak
langsung terjadi proses pendidikan yang dilakukan dalam keluarga.
Proses pendidikan dalam keluarga secara
primer tidak dilaksanakan secara pedagogis (tidak sesuai dengan teori
pendidikan) melainkan dengan hubungan yang disengaja ataupun yang tidak di
sengaja dan langsung atapun tidak langsung antara orang tua dan anak, hal ini
berlangsung secara kontinyu antara keduanya. Hal ini terjadi karena pengaruh
status hubungan ikatan darah yang bersifat rohaniah, bahkan pengaruhnya lebih
besar dari pada pendidikan yang bersifat formal (disengaja).[12]
Pendidikan yang dilakukan dalam keluarga
bersifat informal, kodrati serta tidak direncanakan. H.M Said (1985: 133-134)
mengatakan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1. Fungsi
Kuantifikasi, maksudnya dalam fungsi ini anak
belajar memperoleh bahasa, peranan-peranan dasar dan harapan-harapan,
cara bereaksi, struktur dan hubungan-hubungan. Hal ini membentuk perilaku atau
kepribadian dasar anak.
2. Fungsi
Selektif, maksudnya fungsi orang tua dalam menyaring pengalaman-pengalaman anak
yang bersifat menyimpang dari ideologi yang ada dalam keluarga akibat dari
pengaruh budaya luar keluarga.
3. Fungsi
Pedagogis Integratif, maksudnya orang tua mampu untuk mentransfer dan
mengintegrasikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dengan perilaku,
teladan, ideologi dan adat istiadat orang tua terhadap anaknya.
Selain dari fungsi yang telah dijelaskan
diatas fungsi lain juga terdapat di keluarga yaitu: Protektif , biologis,
afektif , rekreatif, ekonomis, edukatif, civilasi dan religius.
b. Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang
terpenting sesudah keluarga, karena semakin besar kebutuhan anak, maka orang
tua membutuhkan seseorang atau lembaga yang dapat membantu orang tua dalam
melakukan pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak. Orang tua tidak dapat
menanggung semua kebutuhan anak yang berkaitan dengan ketrampilan dan
pengetahuan yang dibutuhkan anak, maka dari itu lembaga pendidikan yang berupa
sekolah sangat dibutuhkan untuk mengembangkan ketrampilan dan pengetahuan anak.
Tugas guru dan pemimpin sekolah disamping
memberikan ilmu pengetahuan, ketrampilan, juga mendidik anak beragama. Dalam
hal ini mereka mengharapkan agar anak
didiknya memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran islam atau dengan kata
lain berkepribadian muslim, yang dimaksud adalah kepribadian yang seluruh
aspeknya baik tingkah lakunya, kegiatan jiwanya maupun filsafat hidup dan
kepercayaannya merujuk pada pengabdian kepada Tuhan, penyerahan diri kepadaNya.[13]
c. Masjid
dan Pesantren
Sesuai dengan UU no. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan luar sekolah disebut dengan pendidikan
non-formal artinya pendidikan yang diselenggarakan untuk memberikan layanan
kepada masyarakat sebagai pengganti, penambah,dan/atau pelengkap pendidikan
jalur sekolah formal dalam rangka mendukung proses pendidikan sepanjang hayat.
Ciri khas dari pendidikan non-formal yang
menunjukkan keluwesan tersendiri berkenaan dengan waktu dan lama belajar, usia
peserta didik, isi, cara penyelenggaraan pengajaran dan cara penilaian hasil
belajar evaluasinya.[14]
Lingkungan
pendidikan islam yang bisa dijadikan tempat untuk proses pendidikan islam
adalah masjid dan pesantren, karena kedua tempat ini proses internalisasi
keagamaan dilakukan.
1) Masjid
Masjid sebagai tempat berkumpulnya umat islam (muslim) dalam
menjalankan ibadah tidak lepas dari fungsinya sebagai tempat pendidikan
keagamaan. Jika dilihat dari perkembangan fungsi masjid dari zaman rasulullah,
fungsi masjid selain sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat pembinaan umat
islam baik berupa peribadatan, pendidikan maupun sosial budaya. Dengan demikian
fungsi masjid sesuai dengan nilai ke-Islam-an yang Universal, eksternal dan
berkeseimbangan.
Jika dilihat dari sejarah pembangungan Masjid Nabawi
menggunakan prinsip gotong-royong dan tidak membedakan jabatan atau status yang
dimiliki seseorang dan semuanya berdasarkan petunjuk Nabi berdasarkan kemampuan
masyarakat madinah.
Masjid sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh
umat islam juga berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat
terutama berkaitan dengan kegiatan pendidikan keagamaan. Dalam UU Sisdiknas
tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan
peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama (pasal 26 dan 30).[15]
Abdurrahan Nahlawi menjelaskan bahwa masjid sebagai lembaga
pendidikan minimal mempunyai tiga sasaran implikasi yang menjadi prioritas
untuk mengembangkan kualitas manusia, yaitu:
Mendidik anak agar
tetap beribadah kepada Allah Swt.
Menanamkan rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan dan menanamkan
solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajibannya sebagai insan
pribadi, sosila dan warga negara.
Memberikan rasa ketentraman, kekuatan dan kemakmuran
potensi-potensi rukhani manusia melalui pendidikan kesabaran, keberanian,
kesadaran, perenungan, optimisme, dan mengadakan penelitian[16]
2) Pesantren
Masyarakat indonesia tidak asing jika mendengar kata pesantren
atau pondok pesantren, karena perkembangan islam di indonesia tidak lepas dari
pengaruh dan usaha pesantren dalam menyebarkan agama islam di bumi pertiwi.
Berdirinya pesantren pada awalnya seperti yang diungkapkan oleh Fachry Ali
(1987: 2) adalah sebagai lembaga pendidikan umat islam pedesaan yang berfungsi
untuk konservasi tradisi keagamaan yang dijalankan oleh umat islam
tradisionalis.
Tujuan diselenggarakannya pendidikan pesantren secara umum
adalah membimbing anak (santri) untuk menjadi manusia yang memiliki kepribadian
islami, yang dengan bekal ilmu agamanya mereka sanggup menjadi muballigh untuk
menyebarkan agama islam dalam masyarakt islam melalui ilmu dan amalnya.[17]
d. Lingkungan
Organisasi Pemuda Atau Kemasyarakatan.
Masyarakat sebagai lingkungan sosial yang
menjadi tempat untuk bersosialisasi baik individu maupun kelompok, tentunya
ikut mempengaruhi dalam proses pendidikan.
Lingkungan organisasi pemuda atau
kemasyarakatan ini yang memberi pola pendidikan kepada seseorang, termasuk
pendidikan keagamaan. Setelah diuraikan mengenai lingkungan keluarga, sekolah,
masjid dan pesantren mengenai fungsi sebagai lembaga pendidikan islam.
Menurut an-Nahlawi, tanggung jawab
masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal,
yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai
penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali
Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap
anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam
mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik
anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat
turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya
ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat,
masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan,
atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh
Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui
kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep pendidik, peserta didik dan
lingkungan pendidikan dalam pendidikan islam tidak dapat terlepas dari tujuan
penciptaan manusia.
Peran, tugas dan fungsi pendidik dan
lingkungan (lembaga) pendidikan harus memiliki kriteria yang bisa diharapkan
untuk pengembangan agama islam dan pengetahuan. Pendidik sebagai orang yang
bertanggung jawab dengan pengembangan kognisi, afektif dan psikomotor peserta
didik harus mampu mengarahkan dan membimbing peserta didik pada tujuan
pendidikan yang diharapkan.
Lingkungan pendidikan yang mendukung
dalam proses pendidikan agama islam perlu diperhatikan, karena lingkungan
merupakan tempat peserta didik dalam melakukan proses pendidikan (belajar) dan
memperoleh pengalaman. Lingkungan pendidikan yang memiliki suasana sesuai
dengan pola pendidikan agama islam sangat membantu dalam melaksanakan
internalisasi nilai-nilai keislaman kepada peserta didik.
Maka dari itu, upaya pendidik dan
lingkungan pendidikan dalam membina dan memberikan pedidikan kepada peserta
didik harus dapat mencangkp tugas manusia sebagai abdullah dan Kholifatullah
fil Ardl dan sebagai manusia yang memiliki potensi (fitrah) untuk dapat
dikembangkan untuk kemaslahatan diri peserta didik, masyarakat dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib, dan Yusuf Muzdakkir.
2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Prenada.
Bakry, Sama’un. 2005. Menggagas
Konsep Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka bani quraisy.
Ahmadi, Abu. dan Uhbiyati, Nur.
1997. Ilmu Pendidikan Islam I (IPI). Bandung: CV. Pustaka Setia,
dkk, Zuhairini. 1995. Filsafat
Pendidikan Islam –cetakan ke dua.Jakarta: Bumi Aksara.
Yasin, Fatah. 2008. Dimensi-dimensi
Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press
[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 74-75 – Dalam tulisan Abdul Mujib dan Yusuf
Muzdakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Prenada, 2010) hlm. 91
[2] Yasin, a
fatah,Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam,(Malang:Uin-Malang
Press,2008),hlm.
[3] Abdul Mujib
dan Yusuf Muzdakkir, Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: Prenada, 2010) hlm. 91
[4] Yasin, a
fatah,Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam,(Malang:Uin-Malang
Press,2008),hlm.95
[6] Abdul Mujib
dan Yusuf Muzdakkir, Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: Prenada, 2010) hlm.104
[7] Yasin, a
fatah,Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam,(Malang:Uin-Malang
Press,2008),hlm.103-104
[8] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992), hlm173
[9] Dra. Hj Nur
Uhbiyati dan Drs. H. Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam I
(IPI), (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1997) hlm.234
[10]
Dr. Sama’un Bakry, M.Ag, Menggagas Konsep Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung,
Pustaka bani quraisy, 2005) hlm.97
[11]Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi
Pendidikan Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 204
[12] Ibid, hlm. 207.
[13] Zuhairini dkk,
Filsafat Pendidikan Islam –cetakan ke dua(Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
hlm. 179
[14] Fatah Yasin, Dimensi-dimensi
Pendidikan Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2008) hlm 230.
[15] Fatah Yasin, Dimensi-dimensi
Pendidikan Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 231.
[16] Ibid, hlm. 236
[17] Ibid, hlm. 243
Tidak ada komentar:
Posting Komentar